Ilustrasi: literasi bacaan
Melawan budaya kolot, dengan judul ini semoga dapat membongkar tabir hegemoni literasi yang tidak populis di bumi anoa Sulawesi tenggara.
Melihat kembali sejarah awal mula aksara di daratan Sulawesi disebut-sebut masuknya Islam adalah awal mula fase prasejarah tergantikan dengan fase sejarah dimana tulisan masuk di bumi Sulawesi ketika Islam tersebar di buton daerah tenggara Sulawesi, salah satu kerajaan tua di nusantara yang kurang lebih sudah 350 tahun lamanya, pergantian fase dari kerajaan menjadi kesultanan oleh Sultan Murhum dikenal sebagai raja terakhir dan Sultan Pertama di kesultanan buton, literasi dengan aksara arab bahasa wolio pun berkembang (biasa disebut juga sebagai aksara wolio).
Perkembangan ini yang kemudian yang menjadikan Sulawesi tenggara (Sultra) intens melakukan pendokumentasian aksara/tulisan. Nusantara dikenal melewati fase prasejarah ketika ada penemuan prasasti” yupa” kerajaan kutai, namun pada persebarannya di nusantara terdapat perbedaan untuk masing-masing wilayah, perkembangan model aksara untuk sebagian wilayah pun berbeda, di daratan jawa dikenal dengan aksara jawi,sangsekerta, bugis,dan aksara wolio.
Kita juga punya kebudayan asli yang sangat popular bagi di masyarakat umum di nusantara tidak hanya di Sulawesi, budaya oral tradisi/tradisi lisan. Budaya local yang sangat kental yaitu tradisi lisan,sebagai sampel orang disini lebih senang bercerita ketimbang menulis ataupun membaca , itu terjadi hingga kini mitos-mitos karamnya perahu swerigading di kab.muna salah satu wilayah provinsi Sultra juga menjadi cerita favorit masyarakat local walaupun tercatat di” epic lagaligo” sebagai karya epos tertua di dunia dibandingakan kisah mahabarata, dan juga kisah bheteno netombula/raja yang muncul dari bambu, diwariskan turun temurun menjadi dongeng sebelum tidur, rutinitas mendongeng akhirnya menjadi kebudayan oral tradisi/tradisi lisan di masyarakat Sulawesi tenggara.
Kerajaan Muna misalkan, Walaupun dianggap sebagai peradaban tertua di Tanah Sulawesi tenggara dengan penemuan situs Rock Art Liang Kobori, Gua Metanduno dan lain sebagainya yang sudah lahir kurang lebih 3000 tahun yang lampau oleh peneliti E.A Kosasih, namun fase perkembangan kerajaan ini sekian tahun lamanya hanya meninggalkan epos cerita tradisi lisan dan bukan dokumentasi tulisan, hal inilah yang mungkin menyebapkan orang disini lebih suka bercerita ketimbang membaca dan menulis. Walaupun disatu sisi kebiasaan tradisi lisan juga menjadi metode bagi sejahrawan untuk mengungkapkan peristiwa sejarah, juga tidak boleh lupa sastrawan sekelas dunia mas Pramoedya ananta toer juga mengungkapkan bahwa kebudayaan itu diambil baiknya dan melepas yang buruknya, mengurangi kebisaan tradisi lisan dan memperbanyak minat baca itulah yang dibutuhkan sekarang.
Bentuk-bentuk feodal budaya yang dianggap sebagai kearifan local mestinya harus dirombak secara penuh, tidak boleh semata-mata moderat dan konserfatif terhadap kebisaan lama, karena kata marx dunia senantiasa bergerak dan berubah maka keharusan akan perombakan kebisaan juga harus mulai dilakukan, yakni mengganti kebisaan banyak bicara menjadi banyak membaca.
Lanjut dengan kisah perjalanan komunitas perpustakaan jalanan di kampus Universitas Halu Oleo sudah 1 tahun berselang namun, tingkat partisipasi dalam membaca di pelataran kampus ini yang sudah tercatat tidaklah memuaskan. Harapan untuk mewujudkan budaya literasi bumi anoa Sulawesi tenggara dinilai masih jauh dari cita-cita, di hari-hari komunitas ini berlapak dikampus hanya segelintir orang sekitar puluhan dari ribuan mahasiswa yang punya minat membaca di lapak komunitas perpustakaan jalanan ini. Di tempat ini masyarakat kampus punya istilah tersendiri untuk budaya kolot ini disebut dengan “wintoisme” istilah local yang mempunyai makna majas hiperbola, sanjungan yang berlebihan kepada tiap individu mahasiswa. Sebagai contoh ketika sepasang mahasiswa berkawan bertemu maka yang terjadi adalah tegur sapa yang disambut dengan kata “Ngeri kamu” atau yang lain “tajam kamu” dengan maksud memberi sanjungan kepada sahabat. Flashback ke sejarah, budaya kolot ini sebetulnya juga sudah pernah terjadi di masa silam, sebut saja di masa pemerintahan mao tse dong, “ABS “asal bapak senang menjadi lazim digunakan untuk mempertahankan status quo dimasa itu yang dilanda krisis pangan/ terjadi kelaparan hebat, para bawahan selalu mengungkapkan apa yang bisa membuat mao senang karena begitu ketakutan dengan sikap totaliternya. Juga berlaku di Indonesia begitu subur 32 tahun lamanya orde lama berkuasa rezim Soeharto yang dimasa itu dikenal dengan masa dictator militer yang anti kritik dan paling intens mencaplok komunis bagi siapa saja yang berani kritik terhadap kinerja pemerintahan, plung dimasa itu masyarakat begitu ketakutan. Ini juga mungkin salah satu penyebab diwilayah ini lebih senang menyanjung ketimbang mengkritik pemerintahan toh kampus juga sedang polemik pemilihan rektor yang tertunda 2 kali hingga kini.
Terlepas dari benar atau tidaknya hal tersebut yang paling urgent bagi realitas objektif di bumi Sultra adalah, minat baca para pemudanya sangat kurang ketimbang wilayah lainnya kendati survey UNESCO merilis tentang minat baca di 61 negara, Indonesia urutan kedua terendah terhadap minat membaca dengan hasil 0,001 persen. Dengan harapan dunia literasi populis di kendari, maka perlu mendobrak kebiasaan lama terhadap ketertarikan kebiasaan tradisi lisan, dan memilih untuk mulai membuat kebiasaan membaca sebagai kebudayaan terbaru yang perlu populerkan. salam literasi.
Post a Comment for " Feodalisme Oral Tradisi Masyarakat Sulawesi"